Selasa, 19 Agustus 2014

Akhlak bertamu dan Menerima Tamu



Akhlak Bertamu
1.    Pengertian
Bertamu adalah berkunjung ke rumah orang lain dalam rangka mempererat silahturrahim. Maksud orang lain disini bisa tetangga, saudara (sanak famili), teman sekantor, teman seprofesi, dan sebagainya. Bertamu tentu ada maksud dan tujuannya, antara lain menjenguk yang sedang sakit, ngobrol-ngobrol biasa, membicarakan bisnis, membicarakan masalah keluarga, dan sebagainya.
Tujuan utama bertamu menurut islam adalah menyambung persaudaraan atau silaturrahim. Silaturrahim tidak hanya bagi saudara sedarah (senasab) tapi juga saudara seiman. Allah Swt memerintahkan agar kita menyambung hubungan baik dengan orang tua, saudara, kaum kerabat, dan orang-orang mu`min yang lain.
Mempererat tali sillaturahim baik dengan tetangga, sanak keluarga, maupun teman sejawat merupakan perintah agama islam agar senantiasa membina kasih sayang, hidup rukun, tolong menolong, dan saling membantu antara yang kaya dengan yang miskin.
Silahturahim tidak saja menghubungkan tali persaudaraan, tetapi juga akan banyak menambah wawasan ataupun pengalaman karena bisa saja pada saat berinteraksi terjadi pembicaraan-pembicaraan yang berkaitan dengan masalah-masalah perdagangan baru tentang bagaimana caranya mendapatkan rezeki, dan sebagainya.
Apabila manusia memutuskan apa-apa yang diperintahkan oleh Allah untuk dihubungkan, maka ikatan sosial masyarakat akan berantakan, kerusakan menyebar di setiap tempat, permusuhan terjadi dimana-mana, sifat egoisme muncul kepermukaan. Sehingga setiap individu masyarakat menjalani hidup tanpa petunjuk, seorang tetangga tidak mengetahui hak tetangganya, seorang faqir merasakan penderitaan dan kelaparan sendirian karena tidak ada yang peduli.
“ Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (QS. An Nisa’ : 1)
2. Dalil Al Qur’an dan Hadist bertamu
Sahabat Abdullah bin Bisir ra. mengatakan: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda:

 لاَ تَأتُوا الْبُيُوْتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَلَكِنَّ أئتُوْهَا مِنْ جَوَانَبِهَا فَاسْتَأْذِنُوا٬ فَإِنْ أَذِنَ لَكُمْ فَادْخُلُوا وَإلاَّ فَارْجِعُوا٠ 

"Janganlah kalian mendatangi rumah (orang) dari depan pintunya, tapi datangilah dari samping-samping. Lantas ijin. Jika kalian diberi ijin, masuklah. Namun jika tidak, pulanglah." (HR. Tabrani) 

Dalam hadis ini, Nabi berpesan bagaimana etika mendatangi rumah saat bertamu. Yaitu dilarang menghadap pintu rumah, dikhawatirkan akan memandang isi rumah yang semestinya tak pantas dia pandang. Entah pemilik rumah atau perkakas rumah tangga yang tidak pantas terlihat, atau semua yang tidak diinginkan pemiliknya dilihat orang lain. 

Bisa jadi tuan rumah baru berpakaian rumah yang transparan, atau boleh jadi sedang sibuk bekerja sehingga perlu bersisir. Atau mungkin peralatan rumah tangga semrawut sehingga perlu dirapikan dan diatur lebih dahulu. 

Karenanya bertamu di hadapan pintu, besar kemungkinan mengkorek keburukan dan aurat. Padahal yang demikian dilarang dalam Islam. Karenanya Nabi saw memerintahkan agar kita tidak mendatangi rumah dari depan pintu, namun lewat samping pintu, kiri atau kanan, sembari menunggu ijin dengan penuh kesopanan. 

Etika kedua dalam bertamu adalah meminta ijin dengan mengetuk pintu atau bel. 

Jika diijinkan kita masuk, jika tidak, kita pulang. 

Diijinkan masuk, tandanya dibukakan pintu, dijawab, atau disambut oleh orang yang kita kunjungi. Tidak diijinkan tandanya orang yang kita cari tak ada, tidur, sibuk dengan tamu lain, atau sama sekali tak ada jawaban. Bagaimana kita bisa mengerti batasan-batasannya? Nabi mengajarkan kita cara tersebut dalam hadis lain. Beliau katakan, meminta ijin cukuplah tiga kali seraya mengetuk pintu. Jika tidak dibukakan hendaklah kita pulang.
3. Etika Bertamu
  • Meminta izin masuk maksimal sebanyak tiga kali
Dalam hal ini (memberi salam dan minta izin), sesuai dengan poin pertama, maka batasannya adalah tiga kali. Maksudnya adalah, jika kita telah memberi salam tiga kali namun tidak ada jawaban atau tidak diizinkan, maka itu berarti kita harus menunda kunjungan kita kali itu. Adapun ketika salam kita telah dijawab, bukan berarti kita dapat membuka pintu kemudian masuk begitu saja atau jika pintu telah terbuka, bukan berarti kita dapat langsung masuk. Mintalah izin untuk masuk dan tunggulah izin dari sang pemilik rumah untuk memasuki rumahnya. Hal ini disebabkan, sangat dimungkinkan jika seseorang langsung masuk, maka ‘aib atau hal yang tidak diinginkan untuk dilihat belum sempat ditutupi oleh sang pemilik rumah.
“jika kamu tidak menemui seorangpun didalamnya, Maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja)lah, Maka hendaklah kamu kembali. itu bersih bagimu dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS An Nur : 28).
Hadis Riwayat Abu Musa Al-Asy’ary ra, dia berkata: “Rasulullah bersabda, ‘Minta izin masuk rumah itu tiga kali, jika diizinkan untuk kamu (masuklah) dan jika tidak maka pulanglah!’” (HR. Bukhari dan Muslim)
  • Berpakaian yang rapi dan pantas
Bertamu dengan memakai pakaian yang pantas berarti menghormati tuan rumah dan dirinya sendiri. Tamu yang berpakaian rapi dan pantas akan lebih dihormati oleh tuan rumah, demikian pula sebaliknya. Firman Allah,
“Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendiri….” (QS. Al Isra : 7)
  • Memberi isyarat dan salam ketika datang
Firman Allah
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS An Nur : 27)
Sabda Nabi,
اِنَّ رَجُلاً اِسْتَأْذَنَ عَلى النَّبِيِّ ص م وَ هُوَ فِى بَيْتٍ فَقَالَ : “اَلِجُ” فَقَالَ النَّبِيُّ ص م لِجَادِمِهِ : اُخْرُجْ اِلَى هَذَا فَعَلِّمْهُ الاِسْتِأْذَانَ فَقَلَ لَهُ : قُلْ “السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ اَ اَدْخُلْ” فَسَمِعَهُ الرِّجَلْ فَقُلْ “السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ اَ اَدْخُلْ” فَاَذِنَ النَّبِيُّ ص م قَدْ دَخَلَ (رواه ابو داود)
 “Bahwasanya seorang laki-laki meminta izin ke rumah Nabi Muhammad SAW sedangkan beliau ada di dalam rumah. Katanya: Bolehkah aku masuk? Nabi SAW bersabda kepada pembantunya: temuilah orang itu dan ajarkan kepadanya minta izin dan katakan kepadanya agar ia mengucapkan “Assalmu alikum, bolehkah aku masuk” lelaki itu mendengar apa yang diajarkan nabi, lalu ia berkata “Assalmu alikum, bolehkah aku masuk?” nabi SAW memberi izin kepadanya maka masuklah ia. (HR Abu Daud)
Sebagaimana juga terdapat dalam hadits dari Kildah ibn al-Hambal radhiallahu’anhu, ia berkata,
“Aku mendatangi Rasulullah lalu aku masuk ke rumahnya tanpa mengucap salam. Maka Rasulullah bersabda, ‘Keluar dan ulangi lagi dengan mengucapkan ‘assalamu’alaikum’, boleh aku masuk?’” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi berkata: Hadits Hasan)


  • Jangan mengintip ke dalam rumah
Mengintip ke dalam rumah sering terjadi ketika seseorang penasaran apakah ada orang di dalam rumah atau tidak. Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mencela perbuatan ini dan memberi ancaman kepada para pengintip, sebagaimana dalam sabdanya,
 “Dari Sahal bin Saad ia berkata: Ada seorang lelaki mengintip dari sebuh lubang pintu rumah Rasulullah SAW dan pada waktu itu beliau sedang menyisir rambutnya. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Jika aku tahu engkau mengintip, niscaya aku colok matamu. Sesungguhnya Allah memerintahkanuntuk meminta izin itu adalah karena untuk menjaga pandangan mata.” (HR Bukhari)
  • Memperkenalkan diri sebelum masuk
Apabila tuan rumah belum tahu/belum kenal, hendaknya tamu memperkenalkan diri secara jelas, terutama jika bertamu pada malam hari. Diriwayatkan dalam sebuah hadits, “dari Jabir ra Ia berkata: Aku pernah datang kepada Rasulullah SAW lalu aku mengetuk pintu rumah beliau. Nabi SAW bertanya: “Siapakah itu?” Aku menjawab: “Saya” Beliau bersabda: “Saya, saya…!” seakan-akan beliau marah” (HR Bukhari)
  • Tamu lelaki dilarang masuk kedalam rumah apabila tuan rumah hanya seorang wanita
Dalam hal ini, perempuan yang berada di rumah sendirian hendaknya juga tidak memberi izin masuk tamunya. Mempersilahkan tamu lelaki ke dalam rumah sedangkan ia hanya seorang diri sama halnya mengundang bahaya bagi dirinya sendiri. Oleh sebab itu, tamu cukup ditemui diluar saja.
  • Masuk dan duduk dengan sopan
Setelah tuan rumah mempersilahkan untuk masuk, hendajnya tamu masuk dan duduk dengan sopan di tempat duduk yang telah disediakan. Tamu hendaknya membatasi diri, tidak memandang kemana-mana secara bebas. Pandangan yang tidak dibatasi (terutama bagi tamu asing) dapat menimbulkan kecurigaan bagi tuan rumah. Tamu dapat dinilai sebagai orang yang tidak sopan, bahkan dapat pula dikira sebagai orang jahat yang mencari-cari kesempatan. Apabila tamu tertarik kepada sesuatu (hiasan dinding misalnya), lebih ia berterus terang kepada tuan rumah bahwa ia tertarik dan ingin memperhatikannya.
  • Menerima jamuan tuan rumah dengan senang hati
Apabila tuan rumah memberikan jamuan, hendaknya tamu menerima jamuan tersebut dengan senang hati, tidak menampakkan sikap tidak senang terhadap jamuan itu. Jika sekiranya tidak suka dengan jamuan tersebut, sebaiknya berterus terang bahwa dirinya tidak terbiasa menikmati makanan atau minuman seperti itu. Jika tuan rumah telah mempersilahkan untuk menikmati, tamu sebaiknya segera menikmatinya, tidak usah menunggu sampai berkali-kali tuan rumah mempersilahkan dirinya. Mulailah makan dengan membaca basmalah dan diakhiri dengan membaca hamdalah
Rasulullah bersabda, “Jika seseorang diantara kamu hendak makan maka sebutlah nama Allah, jika lupa menyebut nama Allah pada awalnya, hendaklah membaca: Bismillahi awwaluhu waakhiruhu.” ( HR Abu Daud dan Turmudzi)
  • Makanlah dengan tangan kanan, ambilah yang terdekat dan jangan memili
Islam telah memberi tuntunan bahwa makan dan minum hendaknya dilakukan dengan tangan kanan, tidak sopan dengan tangan kiri (kecuali tangan kanan berhalangan). Cara seperti ini tidak hanya dilakukan saat bertamu saja. Mkelainkan dalam berbagai suasana, baik di rumah sendiri maupun di rumah orang lain
  • Bersihkan piring, jangan biarkan sisa makanan berceceran
Sementara ada orang yang merasa malu apabila piring yang habis digunakan untuk makan tampak bersih, tidak ada makann yang tersisa padanya. Mereka khawatir dinilai terlalu lahap. Islam memberi tuntunan yang lebih bagus, tidak sekedar mengikuti perasaan manusia yang terkadang keliru. Tamu yang menggunakan piring untuk menikmati hidangan tuan rumah, hendaknya piring tersebut bersih dari sisa makanan. Tidak perlu menyisakan makanan pada pring yang bekas dipakainya yang terkadang menimbulkan rasa jijik bagi yang melihatnya.
  • Segeralah pulang setelah selesai urusan
Kesempatan bertamu dapat digunakan untuk membicarakan berbagai permasalahan hidup. Namun demikian, pembicaraan harus dibatasi tentang permasalahan yang penting saja, sesuai tujuan berkunjung. Hendaknya dihindari pembicraan yang tidak ada ujung pangkalnya, terlebih membicarakan orang lain. Tamu yang bijaksana tidak suka memperpanjang waktu kunjungannya, ia tanggap terhadap sikap tuan rumah. Apabila tuan rumah tekah memperhatikan jam, hendaknya tamu segera pamit karena mungkin sekali tuan rumah akan segera pergi atau mengurus masalah lain. Apabila tuan ruamh menghendaki tamunya untuk tetap tinggal dahulu, hendaknya tamu pandai-pandai membaca situasi, apakah permintaan itu sungguh-sungguh atau hanya sekadar pemanis suasana. Apabila permintaan itu sungguh-sungguh maka tiada salah jika tamu memperpanjang masa kunjungannya sesuai batas kewajaran.
  • Lama Waktu Bertamu Maksimal Tiga Hari Tiga Malam
Terhadap tamu yang jauh tempat tinggalnya, Islam memberi kelonggaran bertamu selama tiga hari tiga malam. Waktu twersebut dikatakan sebagai hak bertamu. Setelah waktu itu berlalu maka habislah hak untuk bertamu, kecuali jika tuan rumah menghendakinya. Dengan pembatasan waktu tiga hari tiga malam itu, beban tuan rumah tidak telampau berat dalam menjamu tamunya.
4. Membiasakan Akhlak Bertamu
Bertamu merupakan tradisi masyarakat yang selalu dilestarikan. Dengan bertamu seorang bias menjalin persaudaraan bahkan dapat menjalin kerja ama untuk meringankan berbagai maalah yang dihadapi dalam kehidupan.adakalanya seorang bertamu karena adanya urusan yang serius, mialnya untuk mencari solusi terhadap problema masyarakat actual, sekedar bertandang, karena lama tidak ketemu (berjumpa) ataupun sekedar untuk mampir sejenak. Dengan bertangang ke rumah kerabat atau sahabat, maka kerinduan terhadap kerabat ataupun ahabat dapat tersalurkan, sehingga jalinan persahabatan menjadi kokoh.
Tujuan bertamu sudah barang udah barang tentu untuk menjalin persaudaraan ataupun perahabatan. Sedangkan bertamu kepadea orang yang belum dikenal, memiliki tujuan untuk saling memperkenalkan diri ataupun bermaksud lain yang belu diketahui kedua belah pihak.
Bertamu merupakan kebiaaan poitif dalam kehidupan bermasyarakat dari zaman tradisional sampai zaman modern. Dengan melestarikan kebiaaan kunjung mengunjungi, maka segala persoalan mudah dilestarikan, segala urusan mudah diberskan dan segala maalah mudah diatasi.
Al Qur’an memberikan isyarat yang tegas, betapa pentingnya setiap orang yang bertemu dapat nejaga diri agar tetap menghormati tuan rumah. Setiap tamu haru berusaha menahan segala keinginan dan kehendaknya baiknya sekalipun, jika tuan rumah tidak berkenan menerimanya. Demikin pula apabila kegiatan bertamu telah uai, maka seorang yang bertamu telah usai, maka seorang yang bertamu harus meninggalkan kesan yang beik dan menyenagkan bagi tuan rumah. Karena itu haram hukumnya orang yang bertamu meninggalkan kekecewaan ataupun kesusahan bagi tuan rumah.
5. Hikmah
  1. Bertamu secara baik dapat menumbuhkan sikap toleran terhadap oaring lain dan menjauhkan sikap pakaan, tekanan, dan intimidasi. Islam tidak mengenal tindakan kekerasan. Bukan saja dalam usaha meyakinkan orang lain terhadap tujuan dan maksud beik kedatangan, tetapi juga dalam tindak laku dan pergaulan dengan sesame manuia harus terhindar cara-cara pakaan dan kekerasan.
  2. Dengan bertamu seorang akan mempertemukan persamaan ataupun kesesuaian sehingga akan terjalin persahabatan dan kerjasama dalam menjalin kehidupan.
    Dengan bertamu, seorang akan melakukan diskui yang baik, sikap yang sportif, dan elegan terhadap seamanya.
  3. Bertamu dianggap sebagai sarana yang efektif untuk berdakwah dan menciptakan kehidupan mesyarakat yang bermartabat.


Akhlak Menerima Tamu

1. Pengertian Akhlak Menerima Tamu

Menurut KBBI, menerima tamu diartikan kedatangan orang-orang bertamu, mela-wat atau berkunjung.

Secara istilah, menerima tamu dimaknai menyambut tamu dengan berbagai cara penyambutan yang lazim dilakukan menurut adat ataupun agama dengan maksud untuk menyenangkan atau memuliakan tamu, atas dasar keyakinan untuk menda-patkan rahmat dan rido dari Alloh.

2. Bentuk Akhlak Menerima Tamu

Islam sebagai agama yang sangat serius dalam memberikan perhatian orang yang sedang bertamu. Sesungguhnya orang yang bertamu telah dijamin hak-haknya dalam Ialam. Karena itu menerima tamu merupakan perintah yang mendatangkan kemuliaan di dunia dan akhirat, dan Rosululloh SAW bersabda:

Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berbuat baik dengan tetangganya. Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka hen-daklah ia memuliakan tamunya dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaklah ia berkata yang baik dan diam (H.R. Muslim)

3. Nilai Positif Akhlak Menerima Tamu

Setiap orang Islam telah diikat oleh suatu Tata aturan supaya hidup bertetengga dan bersahabat dengan orang lain, sekalipun berbeda agama ataupun suku. Hak-hak mereka tidak boleh dikurangi dan tidak boleh dilanggar undang-undang perjanjian yang mengikat di antara sesame manusia.
Memuliakan tamu juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk mendapatkan kemas-lahatan dari Allah ataupun makhluk Nya karena sesungguhnya orangyang berbuat baik akan mendapatkan kemaslahatan dunia ataupun akhirat. Memuliakan tamu dengan peny-ambutan yang menyenangkan dapat membina diri dan menunjukan kepribadian utama.

4. Membiasakan Akhlak Menerima Tamu

Menerima tamu merupakan bagian dari aspek social dalam ajaran Islam yang harus terus dijaga. Menerima tamu dengan penyambutan yang baik merupakan cermin diri dan menunjukan kualitas kepribadian seorang muslim. Seorang muslim harus membiasakan diri untuk menyambut setiap tamu yang datang dengan penyambutan yang penuh suka cita.

Agar dapat menyambut tamu dengan suka cita maka tuan rumah harus mengha- dirkan tamu pikiran yang positif terhadap tamu, jangan sampai kehadiran tamu disertai dengan munculnya pikiran negative dari tuan rumah. Sebagai tuan rumah harus sabar dalam menyambut tamu yang datang apapun keadaanya, pada kenyataanya sering meng-ganggu aktivitas yang sedang kita serius. Jangan sampai seorang tuan rumah menunjukan sikap yang kasar ataupun mengusir tamunya.

Seyogyinya seorang muslim harus menunjukan sikap yang baik terhadap tamunya mulai dari keramahan diri dalam menyambut tamu, menyediakan sarana dan pasarana penyambutan yang memadai, serta memberikan jamuan makan dan minum yang memenu hi selera tamu. Syukur sekali menyediakan hidangan yang lezat yang menjadi kesukaan tamu yang datang. Jika hal tersebut dapat dilakukan secara baik, maka akan menjadi tolak ukur kemuliaan tuan rumah.
5. Etika Menerima Tamu

Dalam ajaran Islam istilah ”Tamu adalah raja” ini merupkan inti dari ajaran islam itu sendiri dan barang siapa yang ingin diluaskan rizkinya dan dipanjangkan usianya, maka hendaklah menyambungkan tali silaturrahim.
Tuan rumah (Shohibul bait) dalam menerima tamu hendaknya mempunyai etika-etika (adab) dalam menerima tamu sesuai dengan ajaran islam. Yaitu seperti :

·        Hendaknya Menunjukkan Wajah Kegembiraan

Tuan rumah hendaknya menunjukkan wajah kegembiraan. Jika ketika itu tuan rumah sedang mempunyai masalah yang merisaukan hendaknya kerisauan itu tidak ditampakkan kepada tamu. Jika kekesalan itu tertuju kepada orang yang datang bertamu, hendaknya usahakan tetap bisa bersikap ramah, karena berlaku tidak ramah kepada tamu, misalnya menampilkan wajah cemberut atau secara sengaja tidak berbicara atau berbicara sangat singkat, berlawanan dengan muru`ah tuan rumah yang justru harus dijaga.

·        Menjawab Salam

Menjawab salam saudara kita sesama muslim berarti merealisasikan sunnah Rosulullah saw dan menunaikan hak sesama muslim. Dan menjawab salam itu sendiri hukumnya adalah wajib.

Dan jika yang bertamu itu ahli kitab (orang Non-Muslim) yang mengucapkan salam, maka jawabannya cukup hanya dengan ucapan "alaik" atau "alaikum" saja.

·        Berjabat Tangan

Ketika bertemu dengan tamu saudara sesama muslim, disunnahkan berjabat tangan sebagaimana amalan para sahabat Nabi.
§  Keutamaan Berjabat Tangan
Dari al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.“[1]
Hadits yang mulia ini menunjukkan keutamaan berjabat tangan ketika bertemu, dan ini merupakan perkara yang dianjurkan berdasarkan kesepakatan para ulama[2], bahkan ini merupakan sunnah yang muakkad (sangat ditekankan)[3].
Faidah-Faidah Penting yang Terkandung Dalam Hadits:
  1. Arti mushaafahah (berjabat tangan) dalam hadits ini adalah berjabat tangan dengan satu tangan, yaitu tangan kanan, dari kedua belah pihak[4]. Cara berjabat tangan seperti ini diterangkan dalam banyak hadits yang shahih, dan inilah arti “berjabat tangan” secara bahasa[5]. Adapun melakukan jabat tangan dengan dua tangan adalah cara yang menyelisihi sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam[6].
  2. Berjabat tangan juga disunnahkan ketika berpisah, berdasarkan sebuah hadits yang dikuatkan oleh syaikh al-Albani[7]. Maka pendapat yang mengatakan bahwa berjabat tangan ketika berpisah tidak disyariatkan adalah pendapat yang tidak memiliki dalil/argumentasi. Meskipun jelas anjurannya tidak sekuat anjuran berjabat tangan ketika bertemu[8].
  3. Berjabat tangan adalah ibadah yang disyari’atkan ketika bertemu dan berpisah, maka melakukannya di selain kedua waktu tersebut, misalnya setelah shalat lima waktu, adalah menyelisihi ajaran Nabi, bahkan sebagian ulama menghukuminya sebagai perbuatan bid’ah[9]. Di antara para ulama yang melarang perbuatan tersebut adalah al-’Izz bin ‘Abdussalam, Ibnu Hajar al-Haitami asy-Syafi’i, Quthbuddin bin ‘Ala-uddin al-Makki al-Hanafi, al-Laknawi dan lain-lain[10].
  4. Adapun berjabat tangan setelah shalat bagi dua orang yang baru bertemu pada waktu itu (setelah shalat lima waktu, pen), maka ini dianjurkan, karena niat keduanya adalah berjabat tangan karena bertemu dan bukan karena shalat[11].
  5. Mencium tangan seorang guru/ustadz ketika bertemu dengannya adalah diperbolehkan, berdasarkan beberapa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan perbuatan beberapa orang sahabat radhiyallahu ‘anhum. Akan tetapi kebolehan tersebut harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
    (a) Tidak menjadikan hal itu sebagai kebiasaan, karena para sahabat radhiyallahu ‘anhum sendiri tidak sering melakukannya kepada Rasuluillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, terlebih lagi jika hal itu dilakukan untuk tujuan mencari berkah dengan mencium tangan sang guru.
    (b) Perbuatan itu tidak menjadikan sang guru menjadi sombong dan merasa dirinya besar di hadapan orang lain, seperti yang sering terjadi saat ini.
    (c) Jangan sampai hal itu menjadikan kita meninggalkan sunnah yang lebih utama dan lebih dianjurkan ketika bertemu, yaitu berjabat tangan, sebagaimana keterangan di atas[12].

·        Bersikap simpatik

Selain menyambut tamu dengan wajah ceria di awal kehadirannya, dan mengajaknya bicara dengan tutur kata yang baik dan sopan. Imam Al Auza`i mengatakan bahwa:

”Memuliakan tamu itu adalah (sekurang-kurangnya) menunjukkan wajah ceria dan baik tutur kata”.

Tradisi masyarakat beradab sejak zaman Nabi saw dalam menjamu tamu selalu ada unsur obrolan, luwes, simpatik dan ramah tamah. Dan sekiranya kita sebagai tuan rumah mempersilahkan tamunya seperti layaknya rumah sendiri, sehingga tidak layak bagi tuan rumah untuk menyuruh tamu melayani dirinya.

·        Memberi Hidangan

Ketika tamu itu duduk, hendaklah menyuguhkan minuman agar tamu merasa nyaman karena penghormatan kita. Dan jika telah selesai janganlah terburu-buru mengangkat hidangan dari meja tamu sebelum tamu benar-benar menyelesaikan makanannya dan membersihkan tangannya.
Jika kita termasuk dalam keadaan golongan orang yang kurang mampu, hendaknya hidangkan kepada tamu kita seadanya saja meskipun itu hanya air putih. Jika tamu berpamitan hendaknya tuan rumah mengantar sampai ke luar rumah.

·        Jangan Membebani Tamu

Janganlah seorang tuan rumah membebani tamu untuk membantu, kerana hal ini bertentangan dengan kewibawaan dan jangan menampakkan kejemuan terhadap tamu, tetapi menampakkan kegembiraan dengan kehadiran mereka, bermuka manis dan berbicara ramah dan ceria.

·        Boleh Menanyakan Siapa Namanya

Jika yang bertamu adalah orang yang belum kita kenal sama sekali, dan dia meminta izin untuk masuk, maka kita boleh menanyakan namanya sambil berjabat tangan seraya mengenalkan diri. Karena berjabat tangan dengan sesama muslim hikmahnya banyak yaitu diantarnya dapat melapangkan dada, mempererat ukhuwah dan dapat menghapus dosa selama belum berpisah.

·        Boleh Menolak Tamu

Sebagai tuan rumah kita diberi kuasa oleh Allah SWT untuk menentukan sikap terhadap tamu. Apakah kita akan menolak tamu tersebut atau menerimanya, jika kita menolak karena suatu hal maka hendaknya bicara jujur dan menyampaikan udzurnya dengan akhlak yang baik.

Dari Abu Hurairah dari Nabi Beliau berkata:

"… barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka hendaknya bicara yang benar atau diam.”

·        Boleh Saling Berpelukan

Jika tamu kita adalah orang yang bertempat tinggal jauh sekali, bisa dikatakan bahwa tamu kita tersebut hanya bersilaturrahim tiap Idul Fitri saja, maka ketika tamu tersebut berpamitan kita boleh saling berpelukan.
Berpelukan dengan tamu yang datang dari bepergian, pada asalnya dibolehkan, karena banyak sahabat yang mengamalkannya. Imam Ahmad, Abu Ja’far At-Thohawi berkata:

Ulama berselisih pendapat dalam hukum berpelukan. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang. Mereka yang membolehkan berdalil dengan riwayat
dari Sya’bi dengan sanadnya: 

“Sesungguhnya sahabat Nabi apabila mereka bertemu, mereka saling berjabat tangan dan bila datang dari bepergian mereka berpeluk-pelukan.

Dari Abu Ja’far dia berkata: Ketika aku datang menghadap Rosululloh dari Najasi beliau menjumpaiku lalu memelukku.

Dari Ummu Darda’ dia berkata : Ketika Salman tiba, dia bertanya “Dimana saudaraku?” Lalu aku menjawab: “Dia di masjid”, lalu dia menuju ke masjid dan setelah melihatnya, dia memeluknya,
sedangkan sahabat yang lain saling berpeluk-pelukan pula.

Kesimpulannya: Pada mulanya dilarang berpeluk-pelukan kemudian atsar berikutnya membolehkan.

Muhammad Al-Mubarokfuri berkata:
“Adapun penggabungan hadits antara Riwayat Anas yang menerangkan tidak disyari’atkannya berpelukan, dengan riwayat Aisyah yang membolehkannya, maka riwayat Aisyah mertunjukkan kekhususan ketika datang dari bepergian. Wallohu a’lam.” 

Kami tambahkan pula bahwa bab berpelukpelukan ini dikutip pula oleh Imam Bukhori di dalam kitab shohihnya, Imam Tirmidzi di dalam kitab Jami’nya dan Abu Dawud di dalam kitab Sunannya yaitu Kitab Al-Isti’dzan wal Adab, silakan menelaahnya.

Walhasil, berpelukan dengan tamu yang baru datang dari bepergian jauh dibolehkan asal sesama jenis. Sebagaimana yang pernah diamalkan oleh para sahabat. Wallohu a’lam.

Contoh Perilaku yang Baik dalam Bertamu dan Menerima Tamu
Bertamu

Sebelum memasuki rumah seseorang, hendaklah yang bertamu terlebih dahulu meminta izin dan mengucapkan salam kepada penghuni rumah.
Manakah yang lebih dahulu dilakukan, meminta izin atau mengucapkan salam? Ada beberapa pendapat ulama tentang hal ini, yang pertama meminta izin dan mengucapkan salam dan yang kedua sebaliknya. Mayoritas ahli fiqh berpendapat yang ke dua. Mereka berargumentasi dengan menyebutkan beberapa hadits Rasulullah SAW riwayat Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, Ibn Abi Syaibah dan Ibn ‘Ad al-Bar yang sekalipun dengan redaksi yang berbeda-beda tapi semuanya menyatakan bahwa mengucapkan salam lebih dahulu dari meminta izin (as-salam qabl al-kalam).
Sementara itu ulama lain juga ada yang mengkompromikan dua pendapat di atas dengan menyatakan bahwa, apabila tamu melihat salah seorang penghuni rumah, maka dia mengucapkan salam terlebih dahulu. Tapi bila tidak melihat siapa-siapa maka hendaklah dia meminta izin terlebih dahulu. Pendapat terakhir inilah yang dipilih oleh al-Mawardi.
Meminta izin bisa dengan kata-kata, dan bisa pula dengan ketukan pintu atau tekan tombol bel atau cara-cara lain yang dikenal baik oleh masyarakat setempat. Bahkan salam itu sendiri bisa juga dianggap sekaligus sebagai permohonan izin.
Menurut Rasulullah SAW, meminta izin maksimal boleh dilakukan tiga kali. Apabila tidak ada jawaban seyogyanya yang akan bertamu kembali pulang. Jangan sekali-kali masuk rumah orang lain tanpa izin, karena di samping tidak menyenangkan bahkan mengganggu tuan rumah, juga dapat berakibat negatif kepada tamu itu sendiri. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Jika seseorang di antara kamu telah meminta izin tiga kali, lalu tidak diizinkan, maka hendaklah dia kembali.”
[HR. Bukhari Muslim]
Kenapa meminta izin maksimal tiga kali? Karena ketukan yang pertama sebagai pemberitahuan kepada tuan rumah akan kedatangan tamu, ketukan kedua memberikan kesempatan kepada penghuni rumah untuk bersiap-siap atau menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan [boleh jadi ada meja atau kursi atau pakaian yang perlu dirapikan], ketukan ketiga diharapkan penghuni rumah sudah berjalan menuju pintu. Setelah ketukan ketiga tetap tidak ada yang membukakan pintu, ada kemungkinan tidak ada orang di rumah, atau penghuni rumah tidak bersedia menerima tamu.
Tamu tidak boleh mendesakkan keinginannya untuk bertamu setelah ketukan ketiga, karena hal tersebut akan mengganggu tuan rumah. Setiap orang diberi hak privasi di rumahnya masing-masing. Tidak seorangpun boleh mengganggunya. Tuan rumah sekalipun dianjurkan untuk menerima dan memuliakan tamu, tapi tetap punya hak untuk menolah kedatangan tamu kalau memang dia tidak dalam suasana siap dikunjungi.
Menurut ungkapan Al-Qur’an, tidak memaksa masuk pada saat tidak ada orang di rumah, atau ditolak oleh tuan rumah, lebih bersih bagi tamu itu sendiri. Artinya lebih menjaga nama baik dan kehormatan dirinya. Kalau dia mendesak terus untuk bertamu, dia akan dinilai kurang memiliki akhlaq, apabila dia masuk padahal tidak ada orang di rumah, bisa-bisa dia dituduh bermaksud mencuri. Kedua-duanya merugikan nama baiknya. Allah berfirman dalam surat An-Nur ayat 28 yang artinya:
“Jika kamu tidak menemui seorangpun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum kamu mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu: “Kembali (saja) lah” maka hendaklah kamu kembali. Itu lebih bersih bagimu dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
[QS. An-Nur 24: 28]
Di samping meminta izin dan mengucapkan salam hal lain yang perlu diperhatikan oleh setiap orang yang bertamu adalah sebagai berikut:
  • Jangan bertamu sembarang waktu. Bertamulah pada saat yang tepat, saat mana tuan rumah diperkirakan tidak akan terganggu. Misalnya jangan bertamu waktu istirahat atau waktu tidur.
  • Kalau diterima bertamu, jangan terlalu lama sehingga merepotkan tuan rumah. Setelah urusan selesai segeralah pulang.
  • Jangan melakukan kegiatan yang membuat tuan rumah terganggu, misalnya memeriksa ruangan dan perabotan, memasuki ruang2 pribadi tanpa izin, atau menggunakan fasilitas-fasilitas yang ada dalam rumah tanpa izin penghuni rumah. Diizinkan masuk rumah tidak berarti diizinkan segala-galanya.
  • Kalau disuguhi minuman atau makanan hormatilah jamuan itu. Bahkan Rasulullah SAW menganjurkan kepada orang yang berpuasa sunnah sebaiknya membukai puasanya untuk menghormati jamuan [HR. Baihaqi].
  • Hendaklah pamit waktu mau pulang. Meninggalkan rumah tanpa izin di samping tidak terpuji, juga mengundang fitnah.
Menerima Tamu

Menerima dan memuliakan tamu tanpa membeda-bedakan status sosial mereka adalah salah satu sifat terpuji yang sangat dianjurkan dalam Islam. Bahkan Rasulullah SAW mengaitkan sifat memuliakan tamu itu dengan keimanan terhadap Allah dan Hari Akhir. Beliau bersabda yang artinya:
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam. Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir hendaklah ia memuliakan tetangganya. Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka hendaklah ia memuliakan tamunya.”
[HR. Bukhari dan Muslim]
Memuliakan tamu dilakukan antara lain dengan menyambut kedatangannya dengan muka manis dan tutur kata yang lemah lembut, mempersilahkannya duduk di tempat yang baik. Kalau perlu disediakan ruangan khusus untuk menerima tamu yang selalu dijaga kerapian dan keasriannya.
Kalau tamu datang dari tempat yang jauh dan ingin menginap, tuan rumah wajib menerima dan menjamunya maksimal tiga hati tiga malam. Lebih dari tiga hari terserah kepada tuan rumah untuk tetap menjamunya atau tidak. Menurut Rasulullah SAW, hari pertama dengan hidangan istimewa dari hidangan yang biasa dimakan tuan rumah sehari-hari. Sedangkan hari kedua dan ketiga dijamu menggunakan jamuan yang sama dengan keseharian yang dimakan tuan rumah. Menjamu tamu lebih dari tiga hari nilainya sedekah, bukan lagi kewajiban. Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Menjamu tamu itu hanya tiga hari. Jaizahnya sehari semalam. Apa yang dibelanjakan untuk tamu di atas tiga hari adalah sedekah. Dan tidak boleh bagi tamu tetap menginap [lebih dari tiga hari] karena hal itu akan memberatkan tuan rumah.”
[HR. Tirmidzi]
Menurut Imam Malik, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah memuliakan dan menjamu tamu dengan hidangan biasa sehari-hari.
Sedangkan menurut Ibn al-Atsir, yang dimaksud dengan jaizah sehari semalam adalah memberikan bekal kepada tamu untuk perjalanan sehari semalam. Dalam konteks perjalanan di padang pasir, diperlukan bekal minimal untuk sehari semalam sampai bertemu dengan tempat persinggahan berikutnya.
Kedua pemahanan di atas dapat dikompromikan dengan melakukan kedua-duanya apabila memang tamunya membutukan bekal untuk melanjutkan perjalanan. Tapi bagaimanapun bentuknya, substansinya tetap sama yaitu anjuran untuk memuliakan tamu sedemikian rupa.

4 komentar: